Selasa, 15 Maret 2011

Filsafat di dunia Islam

Islam adalah pewaris warisan filosofikal dari dunia Mediteranean dan anak benua India. Ia mengalih bentuk warisan ini dalam pandangan-pandangan dunia Islam dan sesuai dengan semangat dan simbol tertulis Al-Qur’an, dan melahirkan serangkaian besar madzhab-madzhab intelektual dan filosofikal, yang hanya beberapa di antaranya bisa secara teknik diistilahkan “filsafat” (filsafah). Tetapi ada aliran-aliran lain, termasuk beberapa di antaranya yang tidak menyandang nama filsafat, yang mempunyai signifikansi filosofikal yang besar menurut makna otentik terma itu dalam bahasa Inggris. Tradisi ini melahirkan intelektual-intelektual besar semisal al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, Suhrawardi, Ibn Rusyd, Ibn ‘Arabi, Mir Damad dan Mulla Shadra, yang beberapa diantaranya dikenal di luar dunia Islam.
Sewaktu dunia Islam untuk pertama kalinya bertemu dengan Barat pada abad ke-19 di negeri-negeri seperti Mesir, Persia, Turki serta anakbenua India, tradisi intelektual yang ada di setiap kawasan menampakkan reaksi sesuai dengan kondisi-kondisi lokal tetapi dalam konteks umum tradisi intelektual universal Islam. Pakar-pakar semisal Sayyid Jamaluddin Astrabadi, yang biasa dikenal sebagai al-Afghani, Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, Malkam Khan, Sir Ahmad Khan, Zia Gokalp, dan Muhammad Iqbal memulai upaya yang gigih untuk menghadapi pemikiran Barat dengan cara yang berbeda dan terpengaruh oleh pemikiran itu dalam derajat yang beraneka.
Pengaruh filsafat Barat di setiap kawasan dunia Islam bergantung pada bentuk kolonialisme yang kebetulan mendominasi di suatu kawasasn tertentu.
Semenjak Perang Dunia ke-2, tujuan membangkitkan kembali pemikiran Islam telah digabungkan dengan suatu gerakan penting yaitu penerjemahan filsafat Barat ke dalam bahasa Arab. Selama itu pula diadakan perayaan-perayaan memperingati filosof-filosof Islam terkemuka seperti al-Kindi, al-farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Rusyd, Suhrawardi, Ibn ‘Arabi dan Ibn Khaldun di Mesir dan acapkali di banyak negara lain di dunia Islam. Ini mengarah pada penyuntingan-penyuntingan teks-teks, penyiapan bibliografi-bibliografi, monograf-monograf analitikal, dan sejarah-sejarah.




Dikaitkan kepada pemikiran Masehi Abad Pertengahan adalah lebih banyak, wawasannya lebih luas, lebih bebas, lebih progresif dan inovatif. Jika kita diperkenankan berbicara tentang filsafat Masehi atau “skolastik” Masehi sebagaimana yang dikatakan, maka lebih pantas jika kita menerima adanya Filsafat Islam atau “skolastik” Islam, khususnya karena skolastik Masehi berhutang budu kepada Skolastik Islam dalam hal pembangkitan dan pengorientasiannya di samping dalam hal pembangkitan dan pengorientasiannya disamping dalam banyak masalah dan topik-topiknya. Pada kenyataannya filsafat Arab di Timur mampu menandingi filsafat Latin di Barat. Dari kedua filsafat ini ditambah dengan kajian-kajian Yahudi- tersusunlah sejarah pembahasan teoritis pada abad pertengahan. Kita harus mengaitkan filsafat Islam dengan filsafat Klasik, Pertengahan dan Modern : (i) agar filsafat Islam dapat ditempatkan pada posisi yang seharusnya (ii) agar fase fase sejarah pemikiran manusia menjadi lengkap.
Kami tidak menolak bahwa (i) pemikiran filsafat dalam Islam telah terpengaruh oleh filsafat Yunani (ii) para filosof Muslim mengambil sebagian besar pandangannnya dari Aristoteles (iii) mereka banyak mengagumi Plato dan mengikutinya pada berbagai aspek, walaupun suatu statement jika tidak di ulang-ulang niscaya akan habis secara sia-sia.
Seorang filosof berhak mengambil sebagian pandangan orang lain, tetapi hal itu tidak menghalanginya untuk membawa teori-teori dan filsafatanya sendiri. Maka Spinoza, misalnya, walaupun secara jelas sebagai pengikut Descrates tetapi ia di anggap memiliki pandangan-pandangan filosofis yang berdiri sendiri. Begitu pula Ibnu Sina walaupun sebagai murid yang murni dari Aristoteles tetapi ia mempunyai pandangan tersendiri yang tidak dikatakan oleh gurunya.
Filosof-filosof islam secara umum hidup di dalam lingkungan dan kondisi ini pemikiran dan kondisi yang berbeda dengan filosof-filosof lain, sehingga salah jika kita mengabaikan berbagai pengaruh kondisi ini dalam pemikran dan teori-teori mereka. Jadi, dunia Islam mampu menyusun suatu filsafat untuk dirinya sendiri yang berjalan seiring dengan nilai pokok agama dan kondisi sosialnya. Dan tidak ada sesuatu pun yang dapat lebih menolong untuk mengenal dan mengetahui hakikat filsafata ini, kecuali kita harus mempelajari dan menjelaskannya.
Beberapa pola titik persamaan dan pertemuan antara pemikiran filsafat di Islam dengan filsafat Abad Modern. Karena di dalam kesamaan pemikiran dan pandangan-pandangan itu terdapat faktor-faktor yang membawa kepada anggapan bahwa anta pemikiran-pemikiran tersebut terdapat semacam hubungan nasab dan kekerabatan. Jika hubungan kekerabatan ini hubungannya tidak nampak sekarang, maka di dalam studi yang lebih mendalam terdapat bukti-bukti yang akan menyingkap dan mengkonfirmasikannya.
Kita tidak perlu masuk ke dalam detailitas-detailitas sekarang. Tetapi kami cukup menunjukkan bahwa titik awa sejarah pemikiran Modern hampir dapat disimpulkan di dalam dua orientasi fundamental : (i) eksperimental yang telah membangkitkan studi-studi empirik (ii) teoritis yang telah membantu untuk menyelidiki ilmu-ilmu rasional. Maka berdasarkan pada eksperimentalisme Bacon dari suatu sisi dan Skeptisisme Descartes dari sisi lain, pembahasan pada Abad Modern berdiri tegak. Disamping perlu diperhatikan bahwa bacon telah didahului oleh banyak tokoh filsafat Skolastik Masehi dan zaman Renaissance untuk mendukung eksperimen dan mengarahkan pandangan kepada alam.
Secra ringkas, selama filsafat skolastik Masehi dan Yahudi- yang berhubungan erat dengan dunia Islam- menjembatani antara filsafat Islam dan pemikiran filosofis Modern, maka ada kemungkinan untuk mentransfer dan pertukaran ide-ide. Oleh karena itu, adalah gegabah jika kita memastikan secara dini bahwa tidak ada hubungan antara Timur dan Barat di dalam dunia pembahasan dan pemikiran. Karena sekarang telah jelas bahwa hubungan ini naik ke masa-masa yang jauh di zaman klasik, tetapi diperbaharui pada Abad Pertengahan. Maka apakah yang menghalangi untuk membentangkan sampai pada sejarah Modern? Pemikiran dan pendapat bukanlah suatu yang perubahannya dapat dibatasi secara mudah, juga bukan sesuatu yang dapat dibatasi oleh lingkungan fisik. Kendati dikatakan atas nama politik sebagai rahasia bom nuklir, tetapi ia akan disebarkan atas nama ilmu pengetahuan kapan pun juga.




Al-Kindi
Di kalangan kaum muslimin, orang yang pertama-gama memberikan pengertian filsafat dan lapangannya ialah Al-Kindi. Ia membagi filsafat menjadi 3 bagian, yaitu :
1. Ilmu Fisika ( ilmu-thabiyyat ) sebagai tingkatan yang paling bawah.
2. Ilmu matematika ( al-ilmur-riyadhi ) sebagai tingkatan tengah-tengah.
3. Ilmu Ketuhanan ( ilmur-rububiyyah ) sebagai tingkatan yang paling tinggi.
Alasannya ialah bahwa ilmu itu ada kalanya berhubungan dengan sesuatu yang dapat di indra, sesuatu yang berbenda, yaitu fisika. Atau ada kalanya berhubungan dengan benda, tetapi mempunyai wujud berdiri, yaitu ilmu matematika, yang terdiri dari ilmu hitung, teknik, astronomi dan musik, atau tidak berhubungan dengan benda sama sekali, yaitu ilmu Ketuhanan.

Al-Farabi
Menurut Al-Farabi, lapangan filsafat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
1. Filsafat teori, yaitu mengetahui sesuatu yang ada, dimana seseorang tidak bisa (tidak perlu) mewujudkannya dalam perbuatan. Bagian ini meliputi :
- Ilmu matematika,
- Ilmu fisika,
- Ilmu metafisika ( membahas tentang wujud pada umumnya ).
2. Filsafat amalan, yaitu mengetahui sesuatu yang seharusnya diwujudkan dalam perbuatan dan yang menimbulkan kekuatan untuk mengerjakan bagian-bagiannya yang baik. Bagian ini meliputi.
- Ilmu Akhlak (etika), yaitu amalan yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan yang baik.
- Filsafat politik, yaitu amalan yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan baik yang seharusnya dikerjakan oleh penduduk negeri.
Al-Farabi mengatakan, bahwa tujuan terpenting dalam mempelajari filsafata ialah mengetahui Tuhan, bahwa Ia Esa dan tidak bergerak, bahwa Ia menjadi sebab yang aktif bagi segala yang ada, bahwa Ia yang mengatur alam ini dengan kemurahan, kebijaksanaan dan keadilan-Nya.
Ibnu Sina
Pembagian filsafat menurut Ibnu Sina pada pokoknya tidak berbeda dengan pembagian-pembagian sebelumnya, yaitu filsafat teori dan filsafat amalan. Akan tetapi ia menghubungkan kedua bagian tersebut kepada agama. Dasar-dasar filsafat tersebut terdapat pada agama atau syari’at Tuhan, hanya penjelasannya didapatkan oleh kekuatan akal-pikiran manusia.
Pembagian filsafat Ketuhanan menurut Ibnu Sina ialah :
1. Ilmu tentang cara turunnya wahyu dan makhluk-makhluk rohani yang membawa wahyu itu; demikian pula bagaimana cara wahyu itu disampaikan, dari sesuatu yang bersifat rohani kepada sesuatu yang dapat dilihat dan didengar.
2. Ilmu keakhiratan, antara lain memperkenalkan kepada kita bahwa manusia ini tidak dihidupkan lagi badannya, maka rohnya yang abadi itulah yang akan mengalami siksaan dan kesenangan.
Dalam menyebutkan kedudukan seorang Nabi dan hubungannya dengan filsafat amalan, maka Ibnu Sina mengatakan bahwa tujuan filsafat amalan ini ialah mengetahui apa yang seharusnya dikerjakan oleh tiap-tiap orang, agar ia menjadi bahagia di dunia dan di akhirat. Inilah yang disebut ilmu akhlak.
Di samping itu juga untuk mengetahui apa yang seharusnya dikerjakan oleh seseorang dalam hubungannya denga rumah tangga dan negara. Pada tiap-tiap pergaulan harus ada Undang-Undang (aturan-aturan) yang harus ada orangnya sendiri yang memelihara terlaksanakannya peraturan tersebut. Akan tetapi dalam soal pembuatan aturan-aturan tersebut, baik untuk rumah tangga maupun untuk kota, hendaknya seorang saja yang membuatnya yaitu Nabi.
Diantara pemikiran filsafat dari ulama-ulama Islam, ada yang lebih berani dan lebih luas daripada pemikiran-pemikiran mereka yang biasa dikenal dengan nama filosuf-filosuf Islam. Dalam pembahasan ilmu kalam dan tasawuf banyak terdapat pikiran dan teori-teori yang tidak kalah teliti daripada filosuf-filosuf Islam.


Setelah ilmu kalam dan tasawuf berhadapan dengan filsafat Aristoteles, maka timbullah perlawanan, dan dari perlawanan ini lahirlah ciri-ciri khas dalam pemikiran Islam. Demikian pula dalam pokok-pokok tasry’ (hukum Islam) dan usul fiqh terdapat beberapa uraian yang logis dan sistematis dan mengandung segi-segi ke-filsafatan. Orang pertama yang mengusulkan ilmu fiqih menjadi bagian dari filsafat adalah Sjech Mustafa Abdurraziq.
Para penulis tidak sama dalam menyebut filsafat Islam, apakah “filsafat Islam” ataukah “filsafat Arab”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar